Dewan Nasional KPA Mencium Ada ‘Penumpang Gelap’ dalam Kisruh Redistribusi Tanah di Pakenjeng Garut
ww.narrativetimes.com.ǁJawa Barat,11 Desember2025-Kericuhan dalam proses redistribusi tanah eks HGU PT Condong di Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Jawa Barat mendapat respons dari Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Ketua Dewan Nasional KPA, Yudi Kurnia, menilai kisruh tersebut mencerminkan lemahnya verifikasi subjek penerima dan berpotensi menimbulkan ketidakadilan baru di tengah masyarakat.
Yudi mengingatkan bahwa tujuan reforma agraria tidak semata membagi-bagikan tanah, melainkan membenahi struktur penguasaan dan pemanfaatan lahan agar lebih adil.
Ia menyebut keruwetan redistribusi lahan di Pakenjeng harus dievaluasi secara menyeluruh agar sesuai dengan amanat konstitusi.
“Reforma Agraria bukan asal bagi-bagi tanah apalagi subjeknya asal-asalan yang penuh manipulasi,” ujarnya, Rabu (11/12/2025).
Ia menjelaskan reforma agraria merupakan proses penataan kembali struktur penguasaan, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui penataan aset dan akses untuk kemakmuran rakyat.
Hal ini merupakan pelaksanaan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Yudi memaparkan bahwa tanah objek reforma agraria (TORA) berasal dari tanah yang dikuasai negara untuk kemudian diredistribusikan kepada subjek yang memenuhi syarat.
Dalam PP 24 Tahun 1997 yang kini diperbarui menjadi PP No.18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa penerima redis diutamakan masyarakat atau petani yang telah menguasai lahan selama 20 tahun berturut-turut dengan itikad baik dan terbuka.
“Hal itu dibuktikan dengan surat pernyataan penguasaan fisik yang tentunya masyarakat atau penggarap berdomisili dalam satu kecamatan atau mau berpindah tempat tinggal ke lokasi tanah objek reforma agraria atau TORA,” ujarnya.
Menurutnya, proses redis sangat rentan disusupi pihak-pihak yang tidak memenuhi syarat namun ikut tercantum sebagai penerima.
Ia mencium adanya potensi penumpang gelap yang dilegitimasi pemerintah setempat tanpa verifikasi ketat dari BPN maupun bupati selaku penandatangan SK penerima redis.
Yudi juga menyinggung potensi tindak pidana jika terjadi manipulasi data subjek penerima redis, terutama dalam pembuatan surat pernyataan bukti penguasaan fisik.
“Dalam menentukan subjek redis jangan sampai ada manipulasi data subjek seolah-olah warga setempat atau memberikan keterangan palsu dalam membuat pernyataan penguasaan fisik yang berkonsekuensi terjerat pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP,” katanya.
Lebih jauh, ia menjelaskan alasan utama penggarap lama harus diprioritaskan sebagai penerima redis. Menurutnya, penggarap yang sudah lama mengelola tanah memiliki rekam jejak nyata dalam memanfaatkan lahan sebagai sumber penghidupan.
Sebaliknya, orang yang tidak pernah menggarap lahan dinilai belum tentu mampu mengelolanya. Jika kemudian tanah justru dijual setelah diterima, kata Yudi, maka hal tersebut bertentangan dengan tujuan reforma agraria.
“Hal itu sebagai bentuk keseriusan dan kemanfaatan atas tanah yang dikelolanya dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga atau setidaknya dapat mempertahankan hidup keluarganya,” katanya.
Sebaliknya, orang yang tidak pernah menggarap lahan dinilai belum tentu mampu mengelolanya. Jika kemudian tanah justru dijual setelah diterima, kata Yudi, maka hal tersebut bertentangan dengan tujuan reforma agraria.
Yudi juga menjelaskan, dalam Perpres nomor 62 tahun 2023 tentang percepatan pelaksanaan reforma agraria, disebut bahwa pabila jumlah subjek reforma agraria lebih banyak daripada bidang tanah yang tersedia, maka pembagian tanah diprioritaskan bagi mereka yang tinggal atau menggarap tanah di lokasi objek Reforma Agraria.
“Artinya penggarap yang tinggal atau warga setempat yang harus diprioritaskan mendapatkan hak atas tanah atau subjek redis,” ucapnya.
Kemudian apabila redistribusi tanah merupakan bagian dari penyelesaian konflik agraria di kawasan transmigrasi, maka pelaksanaannya wajib memprioritaskan para transmigran sebagai subjek reforma agraria.
“Dalam penyelesaian konflik agraria di kawasan transmigrasi, prioritasnya adalah masyarakat transmigran,” tandasnya.
Konflik Antar Warga
Sebelumnya, polemik redistribusi tanah eks Hak Guna Usaha (HGU) di Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Jawa Barat, memicu ketegangan antarwarga.
Hal itu disampaikan kuasa hukum dari Forum Warga Penggarap, Asep Muhyidin. Ia menyebut persoalan redis di Pakenjeng berujung pada munculnya ancaman pembacokan dari warga yang selama ini menggarap lahan tersebut.
“Warga penggarap yang tidak mendapatkan haknya dalam proses redis kini melontarkan ancaman. Ada kata-kata ‘bacok’ yang diarahkan kepada warga lain yang menerima lahan,” ujarnya kepada Tribunjabar.id, Minggu (7/12/2025).
Ia menuturkan, ancaman tersebut muncul sebagai bentuk kekecewaan warga yang selama bertahun-tahun menggarap lahan eks HGU PT Condong namun tidak tercatat sebagai penerima redistribusi tanah.
Polemik di masyarakat itu juga, ungkapnya, muncul karena proses pendataan hingga penetapan penerima dianggap tidak transparan.
“Sejumlah warga yang tercatat sebagai penerima redis disebut bukan penggarap aktif, sementara penggarap lama justru tidak terakomodasi,” ungkapnya.
Kepala Desa Tegalgede, Dona Kartika, membantah adanya ketidaksesuaian atau ketidaktransparanan karena proses redistribusi sudah sesuai mekanismenya.
“Yang dinyatakan tidak sesuai oleh penggarap itu salah, bahkan kami sudah melakukan musyawarah dengan penggarap,” ujarnya , Selasa (2/12/2025).
Jika melihat kronologi di lapangan ungkapnya, luas lahan yang tercatat tidak sesuai dengan lahan yang benar-benar dibagikan.
Salah satu contohnya adalah kawasan di lereng dan mata air seluas 28 hektare yang rencananya akan dibagikan.
“Wilayah tersebut jelas tidak layak restribusi karena harus dihijaukan kembali agar lingkungan tetap terjaga dan tidak rawan longsor,” ungkapnya.
Dona menegaskan bahwa isu sekitar 200 penggarap yang tidak mendapatkan lahan bukan karena mereka tidak kebagian tanah, melainkan karena keterbatasan kuota dalam daftar calon petani dan calon lokasi (CPCL).
Tahun ini, desa hanya mendapat jatah redistribusi 1.059 bidang dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Kami memang punya banyak penggarap, tapi kuotanya terbatas. Bukan tidak kebagian tanah, tetapi tidak masuk kuota CPCL karena kuota dari BPN memang terbatas,” ujar pihak desa.
Ia menjelaskan, pemerintah desa memiliki program berbasis skala prioritas, salah satunya mengutamakan warga yang tidak memiliki rumah karena tidak memiliki tanah.
Meski begitu, keseluruhan penggara tetap akan menjadi perhatian khusus.
Pemerintah desa juga jelasnya, berencana mengajukan kembali permohonan redistribusi pada tahun 2026 jika program tersebut kembali dibuka. Jumlah bidang tanah yang dibutuhkan diperkirakan mencapai sekitar 1.500 bidang.
“Yang menggarap eks PT Condong sudah kami siapkan agar mereka juga bisa mendapat redistribusi. Hanya saja dilakukan bertahap,” ujarnya.
